Senin, 28 Desember 2009

MENARIK DIRI

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Gangguan Interaksi Sosial
1. Pengertian
Ada beberapa pendapat tentang pengertian gangguan interaksi sosial sebagai berikut :
a. Gangguan interaksi sosial adalah seseorang berpartisipasi dalam kuantitas yang tidak cukup atau berlebihan atau kualitas tidak efektif dari pertukaran sosial (Ma Ja Kim, dkk, 1998, hal : 226).
b. Perilaku menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain (Rawlins, 1993, dalam Keliat, 1998).
c. Gangguan hubungan sosial adalah ketidakmampuan individu terhadap perubahan lingkungan dan sekaligus ketidakmampuan individu untuk melakukan atau mengembangkan hubungan interpersonal yang positif (Sundeen, 1987).
2. Rentang Respon
Menurut Stuart dan Sundeen (1998, hal : 346), respon sosial individu berada dalam rentang adaptif sampai mal adaptif.



Rentang Respon Sosial
Respon adaptif Respon maladaptif


Solitude/Menyendiri Kesepian Manipulasi
Otonomi Menarik diri Impulsif
Kebersamaan Ketergantungan
Narkisisme
Saling ketergantungan

a. Respon adaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah yang masih dapat diterima atau norma-norma sosial budaya yang masih umum yang berlaku dengan kata lain individu tersebut masih dalam batas-batas norma dalam menyelesaikan masalahnya. Respon ini meliputi :
1) Menyendiri/solitude merupakan respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa yang telah dilakukan di lingkungan sosialnya serta mengevaluasi diri untuk menentukan langkah-langkah selanjutnya.
2) Otonomi merupakan kemampuan individu yang menentukan dan menyampaikan ide, pikiran, perasaan dalam hubungan sosial.
3) Kebersamaan merupakan suatu kondisi dalam hubungan interpersonal dimana individu mampu saling memberi dan saling menerima.
4) Narkisisme pada diri individu terdapat harga diri yang rapuh, secara terus menerus ingin mendapatkan penghargaan dan pujaan, sikap egosentris, marah jika orang lain tidak mendukungnya.
5) Saling ketergantungan merupakan suatu hubungan saling tergantung antar individu dengan orang lain dalam rangka membina hubungan interpersonal.
b. Respon mal adaptif adalah respon individu dalam penyelesaian masalah yang menyimpang dari norma-norma sosial, budaya, serta lingkungannya, respon mal adaptif yang sering ditemukan adalah :
1) Manipulasi
Pada kerusakan hubungan sosial jenis ini orang lain diperlakukan sebagai obyek, hubungan terpusat dalam masalah pengendalian orang lain dan individu cenderung berorientasi pada diri sendiri dan bukan kepada orang lain.
2) Impulsif
Individu impulsif tidak mampu merencanakan sesuatu, tidak mampu belajar dari pengalaman serta tidak dapat diandalkan.

3. Psikodinamika
a. Etiologi
Menurut Mary C. Townsend (1998, hal : 192), kemungkinan penyebab kerusakan interaksi sosial adalah :
1) Regresi perkembangan.
2) Kerusakan proses pikir.
3) Takut akan penolakan atau kegagalan dalam berorientasi.
4) Proses berduka yang belum terselesaikan.
5) Tidak adanya orang yang bermakna bagi klien atau teman sebaya.
6) Panik.
7) Kurangnya rasa percaya kepada orang lain.
b. Karakteristik
Menurut Budi Anna Keliat (1999, hal : 32), tanda-tanda dan gejala menarik diri adalah :
1) Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul.
2) Menghindar dari orang lain.
3) Komunikasi kurang.
4) Klien lebih sering menunduk.
5) Berdiam diri di kamar.
6) Tidak melakukan kegiatan sehari-hari.

c. Patofisiologi
Menurut Lynda Juall Carpenito (1998, hal : 917) bahwa proses terjadinya menarik diri sebagai berikut :
1) Berhubungan dengan keadaan yang memalukan, keterbatasan energi terhadap kehilangan fungsi tubuh, penyakit terminal, kehilangan sebagian tubuh.
2) Berhubungan dengan hambatan komunikasi terhadap kehilangan pendengaran, retardasi mental, kesulitan bicara, defisit penglihatan dan penyakit mental kronis.
3) Situasional yang berhubungan dengan pengasingan dari orang lain terhadap tidak percaya atau curiga, ansietas tinggi, halusinasi dan ketergantungan.
4) Berhubungan dengan hambatan budaya atau bahasa.
5) Berhubungan dengan perubahan pola hubungan sosial terhadap perceraian, kematian dan kehilangan pekerjaan.
(Menurut Arsyad Subu, dikutip dari Asuhan Keperawatan Klien dengan MD).
d. Proses
1) Proses terjadinya kerusakan interaksi sosial menarik diri pada mulanya klien merasa bodoh, lambat, berbeda dan terbelakang yang menyebabkan klien sulit bersosialisasi, dan akhirnya menarik diri

2) Pada awalnya klien merasa dirinya tidak berharga lagi sehingga merasa tidak aman dalam berhubungan dengan orang lain (Arsyad Subu) dikutip dari Asuhan Keperawatan Klien dengan Menarik Diri.
4. Pohon Masalah
Menurut Budi Anna Keliat (1998 : 18) bahwa pohon masalah yang didapat pada asuhan keperawatan pada klien menarik diri adalah

Efek Resiko perubahan persepsi sensori
Halusinasi pendengaran

Core problem Kerusakan interaksi social : Kurang motivasi
Menarik diri

Etiologi Gangguan konsep diri :
Harga diri rendah


Penjelasan :
Kerusakan interaksi sosial : menarik diri terjadi karena klien mengalami harga diri rendah kronis. Hal ini disebabkan koping keluarga yang tidak efektif sehingga ketegangan peran dalam keluarga. Karena klien sering menyendiri sehingga dapat menyebabkan terjadinya perubahan sensori perseptual dalam hal ini pendengaran sehingga dapat mengakibatkan resiko tinggi kekerasan, kerusakan interaksi sosial juga menyebabkan terjadinya intoleransi aktivitas sehingga mengakibatkan defisit perawatan diri.
Diagnosa keperawatan yang dapat muncul berdasarkan pohon masalah diatas dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Perubahan persepsi sensori: halusinasi pendengaran berhubungan dengan menarik diri.
2. Kerusakan interaksi sosial menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah.
3. Defisit perawatan diri berhubungan dengan Kurang motivasi

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
Proses keperawatan pada klien dengan masalah kesehatan jiwa merupakan tantangan yang unik karena masalah kesehatan jiwa abstrak (tak dapat dilihat langsung seperti masalah kesehatan, memperlihatkan gejala yang berbeda muncul atau berbagai penyebab (Keliat, 1991 hal. 23).
Klien dengan menarik diri sukar mengontrol diri dan sukar berhubungan dengan orang lain. Perawat harus mempunyai kesadaran diri agar dapat mengenal dan mengevaluasi perasaan sendiri sehingga dapat memakai dirinya secara terapeutik dalam merawat klien.
Proses keperawatan klien menarik diri haruslah sistematis mulai dari pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi dan evaluasi. Asuhan keperawatan yang dirumuskan direktorat kesehatan jiwa tahun 2000 adalah sebagai berikut:
1. Pengkajian
Tahap pengkajian terdiri dari pengumpulan data, perumusan masalah klien, data yang dikumpulkan meliputi data biologis, psikologis, sosial dan spiritual. Pengelompokan data pada pengkajian kesehatan jiwa dapat merupakan faktor predisposisi, faktor presipitasi, kemampuan koping yang dimiliki klien.
a. Faktor predisposisi
Menurut Stuart dan Sundeen, (1995), dikutip Keliat hal : 3
Beberapa faktor pendukung terjadinya gangguan dalam perkembangan sosial adalah :
1) Faktor tumbuh kembang
Pada setiap tahapan tumbuh kembang individu ada tugas – tugas perkembangan yang harus dipenuhi agar tidak terjadi gangguan dalam hubungan sosial. Tugas masing-masing tahap tumbuh kembang ini memiliki karakteristik tersendiri.
Pengamatan sosial individu pada masing-masing meninggalkan sejumlah bekas beberapa sikap, sifat, nilai yang khas (Freud dalam Koesworo, 1991).
a) Bayi
Tugas perkembangan pokok dari bayi adalah membentuk sikap ketergantungan dan kepercayaan kepada orang lain (Freud, 1991). Kegagalan pemenuhan kebutuhan bayi melalui ketergantungan kepada orang lain akan mengakibatkan rasa tidak percaya pada diri sendiri dan orang lain serta menarik diri (Harbert, dkk, 1987).
b) Pra Sekolah
Anak pra sekolah mulai memperluas hubungan sosialnya di luar lingkungan keluarga khususnya ibu. Dalam hal ini anak memerlukan dukungan dan bantuan dari keluarga khususnya pemberian pengakuan yang positif terhadap perilaku anak yang adaptif.
Hal ini merupakan dasar rasa optimis anak yang berguna untuk mengembangkan kemampuan hubungan saling ketergantungan. Kegagalan anak dalam hubungan dengan lingkungan respon keluarga yang negatif akan mengakibatkan anak tidak mampu mengontrol diri, tidak mandiri (tergantung, ragu-ragu, menarik diri dalam lingkungan, kurang percaya diri, pesimis, takut salah (Harbert, dkk, 1981).
c) Anak Sekolah
Pada dewasa ini anak mengenal kerjasama, kompetensi, kompromi, teman dan orang dewasa diluar keluarga (guru dan teman) menempatkan sumber pendukung yang penting bagi anak.
Kegagalan dalam membina hubungan teman, kurangnya dukungan dari guru dan pembatasan dari orang tua mengakibatkan anak frustasi terhadap kemampuannya, putus asa, merasa tidak mampu menarik diri dari lingkungan (Harbert, dkk, 1987).
d) Remaja
Pada usia ini merupakan bagian penting dari perkembangan yang membantu semoga menemukan identitasnya sendiri.
Telah dapat menyesuaikan diri, berintegrasi serta menikmati sebuah sosial dalam kelompok sebayanya. Saat-saat orang dimana menunjukkan permusuhan dan pemberontakan yang mungkin akan diikuti saat-saat ketergantungan dimana seseorang mencari lagi penghiburan, rasa aman serta pengertian dan nasehat orang tua (A.Mognie, Psikologi dalam Perawatan, 1996). Kegagalan dalam membina hubungan dengan teman dan kurangnya dukungan orang tua akan mengakibatkan keraguan akan identitas dan rasa percaya diri yang kurang.
e) Dewasa muda
Pada masa ini individu memperhatikan hubungan saling ketergantungan dengan orang tua dan sebaya, individu belajar mengambil keputusan dengan cara memperhatikan saran dan pendapat orang lain. Seperti memilih pekerjaan dan melangsungkan perkawinan.
Kegagalan individu dalam melanjutkan sekolah, pekerjaan, akan mengakibatkan individu akan menghindari hubungan intim, menjauhi orang lain, putus asa akan karier.
f) Dewasa tengah
Peran menjadi orang tua mempunyai hubungan antara orang lain merupakan sesuatu tempat untuk menguji kemampuan saling ketergantungan, memperoleh perhatian, menggantungkan minat aktivitas pada kehidupan. Kegagalan dengan membina hubungan dengan orang dewasa kini akan mengakibatkan diri (perhatian hanya tertuju pada diri sendiri) produktivitas dan kreativitas berkurang, pemahaman terhadap orang lain kurang (Frend, 1998).

g) Dewasa lanjut
Pada masa ini individu akan mengalami kehilangan fungsi, kegiatan, pekerjaan, teman hidup, individu tetap meneruskan bimbingan yang sering memberi masukan dengan orang lain. Individu yang mempunyai perkembangan yang baik dan menerima kehilangan dan mengaku bahwa dukungan orang lain membantu.
Kegagalan individu pada tahap ini akan mengakibatkan perilaku menarik diri.
2) Faktor dalam komunikasi keluarga
Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan menjadi faktor pendukung untuk terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Hubungan komunikasi yang tidak jelas, dimana seorang anggota keluarga menerima pesan yang saling bertentangan dalam waktu bersamaan, ekspresi, emosi yang tinggi dalam keluarga yang menghambat untuk perkembangan dengan lingkungan di luar keluarga.
3) Faktor sosial budaya
Menjauhkan diri dari lingkungan sosial merupakan faktor pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial.
Hal ini disebabkan oleh norma-norma yang salah yang dianut oleh keluarga dimana setiap anggota keluarga yang tidak produktif seperti usia lanjut. Penyakit kronis dan penyandang cacat diasingkan dari lingkungan sosialnya.
4) Faktor biologis
Organ tubuh yang jelas dapat mempengaruhi terjadinya gangguan hubungan sosial adalah otak, pada klien dengan schizofrenia yang mengalami masalah dalam hubungan sosial terdapat struktur yang abnormal pada otak seperti atropi otak, perubahan ukuran dan bentuk sel-sel dalam limbik dan daerah kortikal.
Adanya kelainan-kelainan kronis seperti kelainan mental organik atau retardasi mental, dianggap membatasi kapasitas adaptif seseorang secara umum (Dewitt, 1984).
b. Faktor prespitasi atau pencetus
1) Faktor eksternal
Contohnya adalah stressor sosial budaya yakni stress yang ditimbulkan oleh faktor sosial budaya yang antara lain adalah keluarga.
2) Faktor internal
Contohnya adalah stressor psikologis yakni stress terjadi akibat ansietas yang berkepanjangan dan terjadi bersamaan dengan keterbatasan kemampuan individu untuk mengatasinya. Ansietas ini dapat terjadi akibat tuntutan untuk berpisah dengan orang terdekat atau tidak terpenuhinya kebutuhan individu sebagaimana yang dikemukakan oleh Direktorat Pelayanan Medik (2000, hal : 100).
c. Perilaku
Menurut Direktorat Pelayanan Keperawatan (1996 : 47), perilaku yang ditampakkan klien menarik diri adalah :
1) Ekspresi wajah kurang berseri.
2) Apatis.
3) Kurang spontan.
4) Kurang komunikasi verbal.
5) Mengisolasi diri.
6) Rendah diri.
7) Aktivitas menurun.
8) Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya.
9) Retensi urine dan faeces.
10) Banyak tidur siang.
11) Kurang bergairah.
d. Mekanisme koping
Menurut W. F Maramis (1998 : 83), mekanisme pertahanan diri yang sering digunakan pada klien menarik diri yaitu :
1) Regresi adalah mundur ke tingkat perkembangan yang lebih rendah dengan respons yang kurang matang dan biasanya dengan aspirasi yang kurang.
2) Represi adalah menekan perasaan pengalaman yang menyakitkan atau konflik dan cenderung memperkuat mekanisme ego lainnya.
3) Isolasi adalah memutuskan pelepasan afektif karena keadaan yang menyakitkan atau memisahkan sikap-sikap yang bertentangan.
4) Proyeksi adalah pengalihan buah pikiran atau impuls kepada orang lain terutama keinginan, perasaan yang tidak dapat ditoleransi.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah : identifikasi atau penilaian terhadap pola respon klien baik aktual maupun potensial (Stuart dan Sundeen, 1995 dikutip oleh Keliat, dkk, 1998) diagnosa keperawatan yang mungkin untuk masalah gangguan interaksi sosial adalah :
a. Risiko perubahan persepsi : halusinasi pendengaran berhubungan dengan menarik diri.
b. Kerusakan interaksi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah.
c. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kurangnya motivasi.
3. Rencana Tindakan Keperawatan
a. Risiko perubahan persepsi sensori : halusinasi pendengaran berhubungan dengan menarik diri.
1) Tujuan umum :
Klien dapat berhubungan dengan orang lain sehingga halusinasi dapat dicegah.
2) Tujuan khusus :
a) Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat dan dapat menerima kehadiran perawat setelah satu kali pertemuan.
Intervensi :
(1) Bina hubungan saling percaya
Rasional : Hubungan saling percaya sebagai dasar interaksi yang terapeutik antara perawat dan klien.
(2) Dorong klien untuk mengungkapkan perasaannya atau masalahnya secara verbal.
Rasional : Ungkapan masalah klien secara verbal menunjukkan hubungan saling percaya antara perawat klien telah terbina.
b) Klien dapat mengenal perasaan yang menyebabkan menarik diri.
Intervensi :
(1) Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri.
Rasional : Mengetahui sejauhmana pengetahuan klien tentang menarik diri sehingga perawat dapat merencanakan tindakan selanjutnya.
(2) Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaan penyebab menarik dirinya.
Rasional : Mengetahui alasan menarik diri.
(3) Diskusikan dengan klien tentang perilaku menarik dirinya.
Rasional : Meningkatkan pengetahuan klien dan mencari pemecahan bersama tentang masalah klien.
(4) Beri pujian positif terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaannya.
Rasional : Meningkatkan harga diri klien sehingga berani bergaul dengan lingkungannya.
c) Klien dapat mengetahui keuntungan berhubungan dengan orang lain.

Intervensi :
(1) Diskusikan tentang manfaat berhubungan dengan orang lain.
Rasional : Meningkatkan pengetahuan klien dan mencari pemecahan bersama tentang masalah lingkungannya.
(2) Dorong klien untuk menyebutkan kembali manfaat berhubungan dengan orang lain.
Rasional : Mengetahui pemahaman klien terhadap informasi yang telah diberikan.
(3) Beri pujian terhadap kemampuan klien menyebutkan manfaat berhubungan dengan orang lain.
Rasional : Reinforcement positif dapat meningkatkan harga dirinya.
b. Kerusakan interaksi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah.
1) Tujuan umum :
Klien mampu berhubungan dengan orang lain tanpa merasa rendah diri.
2) Tujuan khusus :
a) Klien dapat memperluas kesadaran dirinya.
Intervensi :
(1) Diskusikan dengan klien kelebihan yang dimilikinya.
Rasional : Mengidentifikasi hal-hal yang positif yang masih dimiliki klien.
(2) Diskusikan kelemahan yang dimiliki klien.
Rasional : Mengingatkan klien bahwa manusia biasa, punya kekurangan.
(3) Beritahukan klien bahwa manusia tidak ada yang sempurna, semua memiliki kelebihan dan kekurangan dan selalu ada hikmah dibalik semuanya.
Rasional : Memberikan harapan pada klien agar klien tidak putus asa.
b) Klien dapat menyelidiki dirinya
Intervensi :
(1) Diskusikan dengan klien ideal dirinya, apa harapannya selama di RSJ, rencana klien bila pulang dan cita-cita yang ingin dicapai.
Rasional : Mengetahui sejauhmana realitas dari harapan klien.
(2) Beri reinfocement positif terhadap keberhasilan yang telah dicapai.
Rasional : Penghargaan terhadap perilaku yang positif meningkatkan harga diri klien.
c) Klien dapat mengevaluasi dirinya
Intervensi :
(1) Bantu klien mengidentifikasikan kegiatan atau keinginan yang berhasil dicapainya.
Rasional : Mengingatkan klien bahwa ia tidak selalu gagal.
(2) Kaji bagaimana perasaan klien terhadap keberhasilan tersebut.
Rasional : Memberi kesempatan klien untuk menilai dirinya.
(3) Bicarakan kegagalan yang pernah dialami dan sebab-sebab kegagalan serta bagaimana cara klien mengatasinya.
Rasional : Sejauhmana kegagalan tersebut mempengaruhi klien dan koping yang digunakan klien selama ini.
(4) Jelaskan pada klien bahwa kegagalan yang pernah dialami dapat menjadi pelajaran untuk mengatasi kesulitan yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.
Rasional : Memberi support ke klien bahwa kegagalan bukan merupakan akhir dari suatu usaha.
d) Klien dapat membuat rencana yang realistis
Intervensi :
(1) Bantu klien merumuskan tujuan yang ingin dicapainya.
Rasional : Klien tetap realistis dengan kemampuan yang dimiliki.
(2) Diskusikan dengan klien tujuan yang ingin dicapai dengan kemampuan klien.
Rasional : Mempertahankan klien untuk tetap realistis.
(3) Beri kesempatan klien untuk melakukan kegiatan yang telah dipilih.
Rasional : Menghargai keputusan klien.
(4) Ikutsertakan klien dalam kegiatan rutin di ruangan.
Rasional : Memberikan kesempatan dalam mengembang-kan kemampuan klien di ruangan.
e) Klien dapat dukungan keluarga yang meningkatkan harga dirinya.
Intervensi :
(1) Diskusikan dengan keluarga tanda-tanda HDR.
Rasional : Mengantisipasi masalah yang timbul.
(2) Anjurkan setiap anggota keluarga untuk mengenal dan memahami, menghargai kemampuan tiap anggotanya.
Rasional : Menyiapkan support sistem yang adekuat.
(3) Diskusikan dengan keluarga cara berespon terhadap klien dengan harga diri rendah seperti : menghargai klien, tidak mengejek dan tidak menjauhi klien.
Rasional : Meningkatkan kemampuan keluarga dalam merawat klien dengan harga diri rendah.
(4) Anjurkan keluarga untuk menerima klien apa adanya dan melibatkan klien dalam setiap pertemuan keluarga.
Rasional : Membantu meningkatkan harga diri klien.
(5) Dorong klien untuk menyebutkan cara berhubungan dengan orang lain.
Rasional : Mengetahui tingkat pemahaman klien terhadap informasi yang telah diberikan.
(6) Dorong dan bantu klien dalam berhubungan dengan orang lain antara lain :
(a) Klien – perawat
(b) Klien – perawat – perawat lain
(c) Klien perawat – perawat lain – klien lain
(d) Klien – kelompok kecil (TAK)
(e) Klien – keluarga
Rasional : Latihan secara bertahap dalam berhubungan dengan orang lain membantu klien dalam mengatasi rasa malu/minder.
(7) Libatkan klien dalam kegiatan rutin di ruangan.
Rasional : Membantu klien dalam mempertahankan hubungan interpersonal.
(8) Reinforcement positif atas keberhasilan yang telah dicapai.
Rasional : Meningkatkan harga diri klien.
f) Klien mendapatkan dukungan keluarga dalam berhubungan dengan orang lain.
Intervensi :
(1) Dorong klien mengungkapkan perasaannya tentang keluarga.
Rasional : Mengetahui sejauh mana hubungan interpersonal klien dengan keluarga.
(2) Diskusikan tentang manfaat berhubungan dengan anggota keluarga.
Rasional : Mengidentifikasi hambatan yang dirasakan oleh klien.
(3) Dorong klien untuk mengikuti kegiatan bersama keluarga seperti makan, ibadah, rekreasi.
Rasional : Membantu klien meningkatkan hubungan interpersonal dengan keluarga.

(1) Beri pujian positif jika klien selalu melakukan kebersihan diri.
Rasional : Reinforcement positif akan memberi motivasi dan meningkatkan harga diri klien.
c. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kurang motivasi.
1) Tujuan umum :
Klien dapat memperlihatkan perasaan-perasaan dan nilai diri yang meningkat.
2) Tujuan khusus :
a) Klien dapat mengekspresikan dirinya terhadap konsep kehilangan dalam waktu 2 hari.
Intervensi :
(1) Perlihatkan sikap menerima dan membolehkan klien untuk mengekspresikan perasaannya secara terbuka.
Rasional : Meningkatkan hubungan saling percaya klien kepada perawat.
(2) Bersama klien mendikskusikan hubungannya dengan orang/objek yang hilang.
Rasional : Membantu klien mengurangi/menghilangkan faktor penghambat tersebut.
b) Klien dapat mengidentifikasi faktor proses berduka dan mampu menyatakan secara verbal perasaannya.
Intervensi :
(1) Bantu klien menggali pola hubungan klien dengan orang/objek yang berarti.
Rasional : Tindakan yang biasa dilakukan klien merupakan dasar dalam mengurangi proses berduka.
(2) Identifikasi dan nilai cara yang efektif dan tidak efektif mengatasi perasaan berduka di masa lalu.
Rasional : Menolong klien untuk mengurangi beberapa rasa bersalah terhadap respon-respon yang berasal dari dirinya.
(3) Perkuat dukungan serta kekuatan yang dimiliki klien dan keluarga.
Rasional : Penguatan posisi meningkatkan harga diri dan mendorong pengulangan perilaku yang diharapkan.
c) Identifikasi dan hargai sosial budaya, agama serta kepercayaan yang dianut oleh klien.
Intervensi :
(1) Dorong klien untuk menjangkau dukungan spiritual selama waktu ini dalam bentuk apapun yang diinginkannya.
Rasional : Dengan dukungan spiritual diharapkan klien tidak terlalu berduka.
(2) Bantu klien untuk ikut berpartisipasi dalam aktivitas motorik.
Rasional : Latihan fisik seperti menyapu, mandi, membersihkan ruangan, merapikan tempat tidur merupakan suatu metode yang aman dan efektif untuk mengeluarkan kesedihan, kemarahan yang terpendam.
(3) Bantu klien untuk mengerti perasaan seperti rasa bersalah, marah terhadap konsep kehilangan adalah perasaan yang wajar dan dapat diterima selama proses berduka.
Rasional : Dapat menolong mengurangi beberapa perasaan bersalah yang menyebabkan timbulnya respon ini.
4. Implementasi
Setelah rencana disusun, maka langkah selanjutnya adalah penerapan tindakan keperawatan. Namun sebelum melaksanakan tindakan yang sudah direncanakan, perawat dapat memvalidasi dengan singkat apakah rencana tindakan masih sesuai dan dibutuhkan klien sesuai dengan kondisinya saat ini (here and now) sebagaimana dikemukakan oleh Budi Anna Keliat (1985 : 15).
5. Evaluasi
Menurut Budi Anna Keliat (1998 : 15), evaluasi merupakan proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan pada klien. Evaluasi dilakukan terus-menerus pada respon klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.
Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP, sebgai pola pikir.
S : Respons subjektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.
O : Respon objektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.
A : Analisa ulang atas data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan apakah masalah masih tetap atau muncul masalah baru atau ada data yang kontradiksi dengan masalah yang ada.
P : Perencanaan atau tindak lanjut hasil analisa pada respons klien.
Sesuai dengan rencana tujuan yang telah dirumuskan dan berpedoman pada tujuan khusus dan kriteria evaluasi, maka hal-hal yang akan dicapai pada proses keperawatan klien dengan kerusakan interaksi sosial ; menarik diri adalah sebagai berikut :
a. Risiko perubahan persepsi : halusinasi pendengaran berhubungan dengan menarik diri.
Kriteria evaluasi yang ingin dicapai antara lain :
1) Klien dapat menerima kehadiran perawat.
2) Klien dapat mengenal perasaan yang menyebabkan menarik diri.
3) Klien dapat mengetahui kuntungan berhubungan dengan orang lain.
4) Klien dapat berhubungan dengan orang lain secara bertahap.
5) Klien mendapatkan dukungan keluarga.
b. Kerusakan interaksi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah.
Kriteria evaluasi yang ingin dicapai antara lain :
1) Klien dapat memperluas kesadaran dirinya.
2) Klien dapat mengevaluasi dirinya.
3) Klien dapat membuat rencana yang realistis.
4) Klien dapat dukungan keluarga dalam meningkatkan harga dirinya.
c. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kurang motivasi.
Kriteria evaluasi yang ingin dicapai antara lain :

1) Klien tidak terlalu lama mengekspresikan emosi dan perilaku yang berhubungan dengan disfungsional.
2) Klien mampu menyatakan secara verbal tahap proses berduka yang normal dalam tiap tahap.
3) Klien dapat mengidentifikasi faktor yang menghambat proses berduka.

KESEHATAN JIWA

Kesehatan jiwa di Indonesia
Indonesia sehat 2010 adalah visi dari Departemen Kesehatan R.I yang ditetapkan pada tahun 1999, merupakan gambaran masyarakat Indonesia pada tahun 2010 yang penduduknya hidup dalam lingkungan dan perilaku sehat, mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu , adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 menyatakan: kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Berdasar definisi tersebut, manusia selalu dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh (holistik), dari unsur badan (organobiologik), jiwa (psiko-edukatif) dan sosial (sosio-kultural), yang tidak dititikberatkan pada “penyakit”, tetapi pada kualitas hidup yang terdiri dan “kesejahteraan” dan “produktivitas sosial ekonomi”.
Definisi tersebut juga menyiratkan bahwa kesehatan jiwa merupakan bagian yang tidak terpisahkan (integral) dari “Kesehatan” dan unsur utama dalam menunjang terwujudnya kualitas hidup manusia yang utuh. Menurut Undang-Undang No 3 Tahun 1966 yang dimaksud dengan kesehatan jiwa adalah suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain
Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan gangguan jiwa di seluruh dunia telah menjadi masalah serius. Pada tahun 2001 terdapat 450 juta orang dewasa yang mengalami gangguan jiwa. Menurut Admin, sedikitnya 20% penduduk dewasa Indonesia saat ini menderita gangguan jiwa, dengan empat jenis penyakit langsung yang ditimbulkannya yaitu depresi, penggunaan alkohol, gangguan bipolar, dan skizofrenia. Ketua Departemen Psikiatri FKUI/RSCM Irmansyah, mengatakan satu dari lima orang dewasa pernah mengalami gangguan jiwa dari jenis biasa sampai yang serius). Gangguan jiwa dalam berbagai bentuk, merupakan penyakit yang sering dijumpai pada semua lapisan masyarakat. Dapat dialami oleh siapa saja, bukan hanya dimiliki oleh mereka yang hidup mapan
Sayangnya, selama ini pemerintah juga masyarakat, cenderung hanya menyoroti kesehatan dari aspek fisik. Tak tersedia jasa layanan kesehatan jiwa pada tingkat paling bawah. Tak ada Puskesmas yang dilengkapi dengan tenaga terlatih, perawat atau dokter, untuk menangani pasien yang jiwanya tengah terhimpit stres, bahkan untuk sekadar mendengarkan keluh-kesah pasien. Tak heran jika kemudian stres, depresi, juga sederet gangguan kejiwaan lain yang dialami warga akhirnya mengendap tanpa terdeteksi. Dan ketika banyak orang bertanya, mengapa angka gangguan jiwa di Indonesia relatif tinggi, jawaban yang dengan mudah terlontar adalah akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan yang telah membuat masyarakat hidup dalam kecemasan luar biasa hingga mencabik-cabik pertahanan mental dalam menghadapi kehidupan. Hal ini pun diakui Dirjen Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan Farid M Husain, yang menyatakan bahwa jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia meningkat pesat, mencapai delapan hingga 10 persen dari total penduduk Indonesia pada tahun 2007. Penyebab utamanya adalah kehilangan pekerjaan, harta benda, atau anggota keluarga.

Kamis, 21 Mei 2009

SISTEM MUSKULUSSKELETAL

FRAKTUR

A. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. (smeltzer S.C & Bare B.G,2001)
Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh.( reeves C.J,Roux G & Lockhart R,2001 )
B. Prevalensi
Fraktur lebih sering terjadi pada orang laki laki daripada perempuan dengan umur dibawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau kecelakaan. Sedangkan pada Usila prevalensi cenderung lebih banyak terjadi pada wanita berhubungan dengan adanya osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormon.
C. Jenis fraktur
1. Complete fraktur ( fraktur komplet ), patah pada seluruh garis tengah tulang,luas dan melintang. Biasanya disertai dengan perpindahan posisi tulang.
2. Closed frakture ( simple fracture ), tidak menyebabkan robeknya kulit, integritas kulit masih utuh.
3. Open fracture ( compound frakture / komplikata/ kompleks), merupakan fraktur dengan luka pada kulit ( integritas kulit rusak dan ujung tulang menonjol sampai menembus kulit) atau membran mukosa sampai ke patahan tulang.
Fraktur terbuka digradasi menjadi :
 Grade I : luka bersih, kuarang dari 1 cm panjangnya
 Grade II : luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif
 Grade III : sangat terkontaminasi, dan mengalami kerusakan jaringan lunak ekstensif.
4. Greenstick, fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedang sisi lainnya membengkok.
5. Transversal, fraktur sepanjang garis tengah tulang
6. Oblik, fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang
7. Spiral, fraktur memuntir seputar batang tulang
8. Komunitif, fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen
9. Depresi, fraktur dengan frakmen patahan terdorong kedalam ( sering terjadi pada tulang tengkorak dan wajah )
10. Kompresi, fraktur dimana tulang mengalami kompresi ( terjadi pada tulang belakang )
11. Patologik, fraktur yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit ( kista tulang, paget, metastasis tulang, tumor )
12. Avulsi, tertariknya fragmen tulang oleh ligamen atau tendo pada prlekatannya.
13. Epifisial, fraktur melalui epifisis
14. Impaksi, fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang lainnya.
Manifestasi klinis
Nyeri terus menerus, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitus, pembengkakan lokal dan perubahan warna.
Pemeriksaan
Tanda dan gejala kemudian setelah bagian yang retak di imobilisasi, perawat perlu mnilai pain ( rasa sakit ), paloor ( kepucatan/perubahan warna), paralisis ( kelumpuhan/ketidakmampuan untuk bergerak ), parasthesia ( kesemutan ), dan pulselessnes ( tidak ada denyut )
Rotgen sinar X
Pemeriksaan CBC jika terdapat perdarahan untuk menilai banyaknya darah yang hilang.
Penatalaksanaan
Segera setelah cidera perlu untuk me- imobilisasi bagian yang cidera apabila klien akan dipindhkan perlu disangga bagian bawah dan atas tubuh yang mengalami cidera tersebut untuk mencegah terjadinya rotasi atau angulasi.
Prinsip penanganan fraktur meliputi :
Reduksi
Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis
Reduksi tertutup, mengembalikan fragmen tulang ke posisinya ( ujung ujungnya saling berhubungan ) dengan manipulasi dan traksi manual. Alat yang digunakan biasanya traksi, bidai dan alat yang lainnya.
Reduksi terbuka, dengan pendekatan bedah. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kaawat, sekrup, plat, paku.
Iimobilisasi
Imobilisasi dapat dilakukan dengan metode eksterna dan interna
Mempertahankan dan mengembalikan fungsi
Status neurovaskuler selalu dipantau meliputi peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan.
Perkiraan waktu imobilisasi yang dibutuhkan untuk penyatuan
fraktur Lamanya ( minggu )
a. Falang ( jari )
b. Metakarpal
c. Karpal
d. Skafoid

e. Radius dan ulna
f. Humerus
 Suprakondiler
 Batang
 Proksimal ( impaksi )
 Proksimal ( dengan pergeseran )
g. Klavikula
h. Vertebra
i. Pelvis
j. Femur
 Intrakapsuler
 Intratrohanterik
 Batang
 Suprakondiler
k. Tibia
 Proksimal
 Batang
 Maleolus
l. Kalkaneus
m. Metatarsal
n. falang ( jari kaki ) 3-5
6
6
10 atau sampai terlihat penyatuan pada sinar X
10-12

Jumat, 01 Mei 2009

ASKEP EPILEPSI

ASKEP EPILEPSI

Konsep Medis

A. Definisi
Epilepsi merupakan gejala kompleks dari banyak gangguan fungsi otak yang dikarakteristikkan oleh kejang berulang. Kejang merupakan akibat dari pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel saraf korteks serebral yang ditandai dengan serangan tiba-tiba, terjadi gangguan kesadaran ringan, aktivitas motorik, atau gangguan fenomena sensori.

B. Etiologi
1. Epilepsi Primer (Idiopatik)
Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, tidak ditemukan kelainan pada jaringan otak diduga bahwa terdapat kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dan sel-sel saraf pada area jaringan otak yang abnormal.
2. Epilepsi Sekunder (Simtomatik)
Epilepsi yang diketahui penyebabnya atau akibat adanya kelainan pada jaringan otak. Kelainan ini dapat disebabkan karena dibawah sejak lahir atau adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau pada masa perkembangan anak, cedera kepala (termasuk cedera selama atau sebelum kelahiran), gangguan metabolisme dan nutrisi (misalnya hipoglikemi, fenilketonuria (PKU), defisiensi vitamin B6), faktor-faktor toksik (putus alkohol, uremia), ensefalitis, anoksia, gangguan sirkulasi, dan neoplasma.

C. Patofisiologi
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang.
Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
 Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
 Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan nuatan menurun secara berlebihan.
 Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA).
 Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.

Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin mmuncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi selama aktivitas kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.

D. Manifestasi Klinis
1. Sawan Parsial (lokal, fokal)
a. Sawan Parsial Sederhana : sawan parsial dengan kesadaran tetap normal
• Dengan gejala motorik
- Fokal motorik tidak menjalar: sawan terbatas pada satu bagian tubuh saja
- Fokal motorik menjalar : sawan dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson.
- Versif : sawan disertai gerakan memutar kepala, mata, tuibuh.
- Postural : sawan disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap tertentu
- Disertai gangguan fonasi : sawan disertai arus bicara yang terhenti atau pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu
• Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial; sawan disertai halusinasi sederhana yang mengenai kelima panca indera dan bangkitan yang disertai vertigo.
- Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-tusuk jarum.
- Visual : terlihat cahaya
- Auditoris : terdengar sesuatu
- Olfaktoris : terhidu sesuatu
- Gustatoris : terkecap sesuatu
- Disertai vertigo
• Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium, pucat, berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi pupil).
• Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
- Disfagia : gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku kata, kata atau bagian kalimat.
- Dimensia : gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah mengalami, mendengar, melihat, atau sebaliknya. Mungkin mendadak mengingat suatu peristiwa di masa lalu, merasa seperti melihatnya lagi.
- Kognitif : gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
- Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.
- Ilusi : perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih besar.
- Halusinasi kompleks (berstruktur) : mendengar ada yang bicara, musik, melihat suatu fenomena tertentu, dll.
b. Sawan Parsial Kompleks (disertai gangguan kesadaran)
• Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran : kesadaran mula-mula baik kemudian baru menurun.
- Dengan gejala parsial sederhana A1-A4 : gejala-gejala seperti pada golongan A1-A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran.
- Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul dengan sendirinya, misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut muka berubah seringkali seperti ketakutan, menata sesuatu, memegang kancing baju, berjalan, mengembara tak menentu, dll.
• Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran menurun sejak permulaan kesadaran.
- Hanya dengan penurunan kesadaran
- Dengan automatisme
c. Sawan Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik, klonik)
• Sawan parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum.
• Sawan parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum.
• Sawan parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu berkembang menjadi bangkitan umum.

2. Sawan Umum (Konvulsif atau NonKonvulsif)
a. 1. Sawan lena (absence)
Pada sawan ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka tampak membengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara. Biasanya sawan ini berlangsung selama ¼ - ½ menit dan biasanya dijumpai pada anak.
• Hanya penurunan kesadaran
• Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan, biasanya dijumpai pada kelopak mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya bilateral.
• Dengan komponen atonik. Pada sawan ini dijumpai otot-otot leher, lengan, tangan, tubuh mendadak melemas sehingga tampak mengulai.
• Dengan komponen klonik. Pada sawan ini, dijumpai otot-otot ekstremitas, leher atau punggung mendadak mengejang, kepala, badan menjadi melengkung ke belakang, lengan dapat mengetul atau mengedang.
• Dengan automatisme
• Dengan komponen autonom.
b hingga f dapat tersendiri atau kombinasi
2. Lena tak khas (atipical absence)
Dapat disertai:
• Gangguan tonus yang lebih jelas.
• Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.

b. Sawan Mioklonik
Pada sawan mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau lemah sebagian otot atau semua otot, seringkali atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua umur.

c. Sawan Klonik
Pada sawan ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai terutama sekali pada anak.
d. Sawan Tonik
Pada sawan ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku pada wajah dan bagian tubuh bagian atas, flaksi lengan dan ekstensi tungkai. Sawan ini juga terjadi pada anak.
e. Sawan Tonik-Klonik
Sawan ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal dengan nama grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu tanda-tanda yang mendahului suatu sawan. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira ¼ - ½ menit diikutti kejang kejang kelojot seluruh tubuh. Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi dalam beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa karena hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing ketika mendapat serangan. Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun dengan kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.
f. Sawan atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Sawan ini terutama sekali dijumpai pada anak.

3. Sawan Tak Tergolongkan
Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang ritmik, mengunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau pernapasan yang mendadak berhenti sederhana.

E. Pemeriksaan Diagnostik
 Pungsi Lumbar
Pungsi lumbar adalah pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan yang ada di otak dan kanal tulang belakang) untuk meneliti kecurigaan meningitis. Pemeriksaan ini dilakukan setelah kejang demam pertama pada bayi.
- Memiliki tanda peradangan selaput otak (contoh : kaku leher)
- Mengalami complex partial seizure
- Kunjungan ke dokter dalam 48 jam sebelumnya (sudah sakit dalam 48 jam sebelumnya)
- Kejang saat tiba di IGD (instalasi gawat darurat)
- Keadaan post-ictal (pasca kejang) yang berkelanjutan. Mengantuk hingga sekitar 1 jam setelah kejang demam adalah normal.
- Kejang pertama setelah usia 3 tahun
Pada anak dengan usia > 18 bulan, pungsi lumbar dilakukan jika tampak tanda peradangan selaput otak, atau ada riwayat yang menimbulkan kecurigaan infeksi sistem saraf pusat. Pada anak dengan kejang demam yang telah menerima terapi antibiotik sebelumnya, gejala meningitis dapat tertutupi, karena itu pada kasus seperti itu pungsi lumbar sangat dianjurkan untuk dilakukan.
 EEG (electroencephalogram)
EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti ketidaknormalan gelombang. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada kejang demam yang baru terjadi sekali tanpa adanya defisit (kelainan) neurologis. Tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa EEG yang dilakukan saat kejang demam atau segera setelahnya atau sebulan setelahnya dapat memprediksi akan timbulnya kejang tanpa demam di masa yang akan datang. Walaupun dapat diperoleh gambaran gelombang yang abnormal setelah kejang demam, gambaran tersebut tidak bersifat prediktif terhadap risiko berulangnya kejang demam atau risiko epilepsi.

 Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit, kalsium, fosfor, magnsium, atau gula darah tidak rutin dilakukan pada kejang demam pertama. Pemeriksaan laboratorium harus ditujukan untuk mencari sumber demam, bukan sekedar sebagai pemeriksaan rutin.
 Neuroimaging
Yang termasuk dalam pemeriksaan neuroimaging antara lain adalah CT-scan dan MRI kepala. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada kejang demam yang baru terjadi untuk pertama kalinya.

F. Pencegahan
Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi yang digunakan sepanjang kehamilan. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui program yang memberi keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi) harus di identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau cedera akhirnya menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama kehamilan dan persalinan.
Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, dan program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari rencana pencegahan ini.
G. Pengobatan
Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita akan diberikan obat antikonvulsan untuk mengatasi kejang sesuai dengan jenis serangan. Penggunaan obat dalam waktu yang lama biasanya akan menyebabkan masalah dalam kepatuhan minum obat (compliance) seta beberapa efek samping yang mungkin timbul seperti pertumbuhan gusi, mengantuk, hiperaktif, sakit kepala, dll.
Penyembuhan akan terjadi pada 30-40% anak dengan epilepsi. Lama pengobatan tergantung jenis epilepsi dan etiologinya. Pada serangan ringan selama 2-3th sudah cukup, sedang yang berat pengobatan bisa lebih dari 5th. Penghentian pengobatan selalu harus dilakukan secara bertahap. Tindakan pembedahan sering dipertimbangkan bila pengobatan tidak memberikan efek sama sekali.
Penanganan terhadap anak kejang akan berpengaruh terhadap kecerdasannya. Jika terlambat mengatasi kejang pada anak, ada kemungkinan penyakit epilepsi, atau bahkan keterbalakangan mental. Keterbelakangan mental di kemudian hari. Kondisi yang menyedihkan ini bisa berlangsung seumur hidupnya.
Konsep Keperawatan
A. Pengkajian
Perawat mengumpulkan informasi tentang riwayat kejang pasien. Pasien ditanyakan tentang faktor atau kejadian yang dapat menimbulkan kejang. Asupan alkohol dicatat. Efek epilepsi pada gaya hidup dikaji: Apakah ada keterbatasan yang ditimbulkan oleh gangguan kejang? Apakah pasien mempunyai program rekreasi? Kontak sosial? Apakah pengalaman kerja? Mekanisme koping apa yang digunakan?
Obsevasi dan pengkajian selama dan setelah kejang akan membantu dalam mengindentifikasi tipe kejang dan penatalaksanaannya.
1. Selama serangan :
- Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan.
- Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.
- Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.
- Apakah disertai komponen motorik seperti kejang tonik, kejang klonik, kejang tonik-klonik, kejang mioklonik, kejang atonik.
- Apakah pasien menggigit lidah.
- Apakah mulut berbuih.
- Apakah ada inkontinen urin.
- Apakah bibir atau muka berubah warna.
- Apakah mata atau kepala menyimpang pada satu posisi.
- Berapa lama gerakan tersebut, apakah lokasi atau sifatnya berubah pada satu sisi atau keduanya.
2. Sesudah serangan
- Apakah pasien : letargi , bingung, sakit kepala, otot-otot sakit, gangguan bicara
- Apakah ada perubahan dalam gerakan.
- Sesudah serangan apakah pasien masih ingat apa yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan.
- Apakah terjadi perubahan tingkat kesadaran, pernapasan atau frekuensi denyut jantung.
- Evaluasi kemungkinan terjadi cedera selama kejang.
3. Riwayat sebelum serangan
- Apakah ada gangguan tingkah laku, emosi.
- Apakah disertai aktivitas otonomik yaitu berkeringat, jantung berdebar.
- Apakah ada aura yang mendahului serangan, baik sensori, auditorik, olfaktorik maupun visual.
4. Riwayat Penyakit
- Sejak kapan serangan terjadi.
- Pada usia berapa serangan pertama.
- Frekuensi serangan.
- Apakah ada keadaan yang mempresipitasi serangan, seperti demam, kurang tidur, keadaan emosional.
- Apakah penderita pernah menderita sakit berat, khususnya yang disertai dengan gangguan kesadaran, kejang-kejang.
- Apakah pernah menderita cedera otak, operasi otak
- Apakah makan obat-obat tertentu
- Apakah ada riwayat penyakit yang sama dalam keluarga

B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan perubahan kesadaran, kerusakan kognitif selama kejang, atau kerusakan mekanisme perlindungan diri.
2. Resiko tinggi terhadap bersihan jalan napas/pola napas tidak efektif.
3. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan aturan pengobatan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang pemajanan, atau kesalahan interpretasi informasi.
4. Gangguan harga diri berhubungan dengan stigma berkenaan dengan kondisi, persepsi tentang tidak terkontrol

Minggu, 19 April 2009

usus buntu

Bacaan untuk Andini


usus buntu (Appenditicis)
Sebelum dibahas lebih jauh mengenai radang usus buntu yang dalam bahasa medisnya disebut Appendicitis, maka lebih dulu harus difahami apa yang dimaksud dengan usus buntu. Usus buntu, sesuai dengan namanya bahwa ini merupakan benar-benar saluran usus yang ujungnya buntu. Usus ini besarnya kira-kira sejari kelingking, terhubung pada usus besar yang letaknya berada di perut bagian kanan bawah.

Usus buntu dalam bahasa latin disebut sebagai Appendix vermiformis, Organ ini ditemukan pada manusia, mamalia, burung, dan beberapa jenis reptil. Pada awalnya Organ ini dianggap sebagai organ tambahan yang tidak mempunyai fungsi, tetapi saat ini diketahui bahwa fungsi apendiks adalah sebagai organ imunologik dan secara aktif berperan dalam sekresi immunoglobulin (suatu kekebalan tubuh) dimana memiliki/berisi kelenjar limfoid.

Seperti organ-organ tubuh yang lain, appendiks atau usus buntu ini dapat mengalami kerusakan ataupun ganguan serangan penyakit. Hal ini yang sering kali kita kenal dengan nama Penyakit Radang Usus Buntu (Appendicitis).

  • Penyebab Penyakit Radang Usus Buntu (Appendicitis)

  • Penyakit radang usus buntu ini umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri, namun faktor pencetusnya ada beberapa kemungkinan yang sampai sekarang belum dapat diketahui secara pasti. Di antaranya faktor penyumbatan (obstruksi) pada lapisan saluran (lumen) appendiks oleh timbunan tinja/feces yang keras (fekalit), hyperplasia (pembesaran) jaringan limfoid, penyakit cacing, parasit, benda asing dalam tubuh, cancer primer dan striktur.

    Diantara beberapa faktor diatas, maka yang paling sering ditemukan dan kuat dugaannya sebagai penyabab adalah faktor penyumbatan oleh tinja/feces dan hyperplasia jaringan limfoid. Penyumbatan atau pembesaran inilah yang menjadi media bagi bakteri untuk berkembang biak. Perlu diketahui bahwa dalam tinja/feces manusia sangat mungkin sekali telah tercemari oleh bakteri/kuman Escherichia Coli, inilah yang sering kali mengakibatkan infeksi yang berakibat pada peradangan usus buntu.

    Makan cabai bersama bijinya atau jambu klutuk beserta bijinya sering kali tak tercerna dalam tinja dan menyelinap kesaluran appendiks sebagai benda asin, Begitu pula terjadinya pengerasan tinja/feces (konstipasi) dalam waktu lama sangat mungkin ada bagiannya yang terselip masuk kesaluran appendiks yang pada akhirnya menjadi media kuman/bakteri bersarang dan berkembang biak sebagai infeksi yang menimbulkan peradangan usus buntu tersebut.

    Seseorang yang mengalami penyakit cacing (cacingan), apabila cacing yang beternak didalam usus besar lalu tersasar memasuki usus buntu maka dapat menimbulkan penyakit radang usus buntu.

  • Gambaran Penyakit Radang Usus Buntu (Appendicitis)

  • Peradangan atau pembengkakaan yang terjadi pada usus buntu menyebabkan aliran cairan limfe dan darah tidak sempurna pada usus buntu (appendiks) akibat adanya tekanan, akhirnya usus buntu mengalami kerusakan dan terjadi pembusukan (gangren) karena sudah tak mendapatkan makanan lagi.

    Pembusukan usus buntu ini menghasilkan cairan bernanah, apabila tidak segera ditangani maka akibatnya usus buntu akan pecah (perforasi/robek) dan nanah tersebut yang berisi bakteri menyebar ke rongga perut. Dampaknya adalah infeksi yang semakin meluas, yaitu infeksi dinding rongga perut (Peritonitis).

  • Tanda dan Gejala Penyakit Radang Usus Buntu

  • Gejala usus buntu bervariasi tergantung stadiumnya;
    1. Penyakit Radang Usus Buntu akut (mendadak).
      Pada kondisi ini gejala yang ditimbulkan tubuh akan panas tinggi, mual-muntah, nyeri perut kanan bawah, buat berjalan jadi sakit sehingga agak terbongkok, namun tidak semua orang akan menunjukkan gejala seperti ini, bisa juga hanya bersifat meriang, atau mual-muntah saja.

    2. Penyakit Radang Usus Buntu kronik.
      Pada stadium ini gejala yang timbul sedikit mirip dengan sakit maag dimana terjadi nyeri samar (tumpul) di daerah sekitar pusar dan terkadang demam yang hilang timbul. Seringkali disertai dengan rasa mual, bahkan kadang muntah, kemudian nyeri itu akan berpindah ke perut kanan bawah dengan tanda-tanda yang khas pada apendisitis akut yaitu nyeri pd titik Mc Burney (istilah kesehatannya).
    Penyebaran rasa nyeri akan bergantung pada arah posisi/letak usus buntu itu sendiri terhadap usus besar, Apabila ujung usus buntu menyentuh saluran kencing ureter, nyerinya akan sama dengan sensasi nyeri kolik saluran kemih, dan mungkin ada gangguan berkemih. Bila posisi usus buntunya ke belakang, rasa nyeri muncul pada pemeriksaan tusuk dubur atau tusuk vagina. Pada posisi usus buntu yang lain, rasa nyeri mungkin tidak spesifik begitu.

  • Pemeriksaan diagnosa Penyakit Radang Usus Buntu

  • Ada beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan oleh Tim Kesehatan untuk menentukan dan mendiagnosa adanya penyakit radang usus buntu (Appendicitis) oleh Pasiennya. Diantaranya adalah pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiology ;
    1. Pemeriksaan fisik.
      Pada appendicitis akut, dengan pengamatan akan tampak adanya pembengkakan (swelling) rongga perut dimana dinding perut tampak mengencang (distensi). Pada perabaan (palpasi) didaerah perut kanan bawah, seringkali bila ditekan akan terasa nyeri dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri (Blumberg sign) yang mana merupakan kunci dari diagnosis apendisitis akut.

      Dengan tindakan tungkai kanan dan paha ditekuk kuat / tungkai di angkat tinggi-tinggi, maka rasa nyeri di perut semakin parah. Kecurigaan adanya peradangan usus buntu semakin bertambah bila pemeriksaan dubur dan atau vagina menimbulkan rasa nyeri juga. Suhu dubur (rectal) yang lebih tinggi dari suhu ketiak (axilla), lebih menunjang lagi adanya radang usus buntu.

    2. Pemeriksaan Laboratorium.
      Pada pemeriksaan laboratorium darah, yang dapat ditemukan adalah kenaikan dari sel darah putih (leukosit) hingga sekitar 10.000 – 18.000/mm3. Jika terjadi peningkatan yang lebih dari itu, maka kemungkinan apendiks sudah mengalami perforasi (pecah).

    3. Pemeriksaan radiologi.
      foto polos perut dapat memperlihatkan adanya fekalit. Namun pemeriksaan ini jarang membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis. Ultrasonografi (USG) cukup membantu dalam penegakkan diagnosis apendisitis (71 – 97 %), terutama untuk wanita hamil dan anak-anak. Tingkat keakuratan yang paling tinggi adalah dengan pemeriksaan CT scan (93 – 98 %). Dengan CT scan dapat terlihat jelas gambaran apendiks.

  • Penanganan dan Perawatan Penyakit Radang Usus Buntu

  • Bila diagnosis sudah pasti, maka penatalaksanaan standar untuk penyakit radang usus buntu (appendicitis) adalah operasi. Pada kondisi dini apabila sudah dapat langsung terdiagnosa kemungkinan pemberian obat antibiotika dapat saja dilakukan, namun demikian tingkat kekambuhannya mencapai 35%.

    Pembedahan dapat dilakukan secara terbuka atau semi-tertutup (laparoskopi). Setelah dilakukan pembedahan, harus diberikan antibiotika selama 7 – 10 hari. Selanjutnya adalah perawatan luka operasi yang harus terhindar dari kemungkinan infeksi sekunder dari alat yang terkontaminasi dll.

    Jumat, 18 Mei 2007

    asuhan keperawatan dengan fraktur

    ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN FRAKTUR CRURIS

    • PENGERTIanaaa

    Fraktur cruris adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadi pada tulang tibia dan fibula. Fraktur terjadi jika tulang dikenao stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya. (Brunner & Suddart)

    • JENIS FRAKTUR

    a.Fraktur komplet : patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergeseran.

    b.Fraktur tidak komplet: patah hanya pada sebagian dari garis tengah tulang

    c.Fraktur tertutup : fraktur tapi tidak menyebabkan robeknya kulit

    d.Fraktur terbuka : fraktur dengan luka pada kulit atau membran mukosa sampai ke patahan tulang.

    e.Greenstick : fraktur dimana salah satu sisi tulang patah,sedang sisi lainnya membengkak.

    f.Transversal : fraktur sepanjang garis tengah tulang

    g.Kominutif : fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa frakmen

    h.Depresi : fraktur dengan fragmen patahan terdorong ke dalam

    i.Kompresi : Fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang belakang)

    j.Patologik : fraktur yang terjadi pada daerah tulang oleh ligamen atau tendo pada daerah perlekatannnya.

    ETIOLOGI

    • Trauma

    • Gerakan pintir mendadak

    • Kontraksi otot ekstem

    • Keadaan patologis : osteoporosis, neoplasma

    MANIFESTASI KLINIS

    • Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya samapi fragmen tulang diimobilisasi, hematoma, dan edema

    • Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah

    • Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur

    • Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya

    • Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit

    • PEMERIKSAAN PENUNJANG

    • pemeriksaan foto radiologi dari fraktur : menentukan lokasi, luasnya

    • Pemeriksaan jumlah darah lengkap

    • Arteriografi : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai

    • Kreatinin : trauma otot meningkatkanbeban kreatinin untuk klirens ginjal

    PENATALAKSANAAN

    • Reduksi fraktur terbuka atau tertutup : tindakan manipulasi fragmen-fragmen tulang yang patah sedapat mungkin untuk kembali seperti letak semula.

    • Imobilisasi fraktur

    Dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna

    • Mempertahankan dan mengembalikan fungsi

    • Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan

    • Pemberian analgetik untuk mengerangi nyeri

    • Status neurovaskuler (misal: peredarandarah, nyeri, perabaan gerakan) dipantau

    • Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalakan atrofi disuse dan meningkatkan peredara darah

    • KOMPLIKASI

    • malunion : tulang patah telahsembuh dalam posisi yang tidak seharusnya.

    • Delayed union : proses penyembuhan yang terus berjlan tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.

    • Non union : tulang yang tidak menyambung kembali

    • PENGKAJIAN DATA DASAR

    • aktivitas/istirahat

    • kehilangan fungsi pada bagian yangterkena

    • Keterbatasan mobilitas

    • Sirkulasi

    • Hipertensi ( kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas)

    • Hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah)

    • Tachikardi

    • Penurunan nadi pada bagiian distal yang cidera

    • Cailary refil melambat

    • Pucat pada bagian yang terkena

    • Masa hematoma pada sisi cedera

    • Neurosensori

    • Kesemutan

    • Deformitas, krepitasi, pemendekan

    • kelemahan

    • kenyamanan

    • nyeri tiba-tiba saat cidera

    • spasme/ kram otot

    • keamanan

    • laserasi kulit

    • perdarahan

    • perubahan warna

    • pembengkakan lokal

    • PRIORITAS KEPERAWATAN

    • Mencegah cedera tulang/ jaringan lanjut

    • Menghilangkan nyeri

    • Mencegah komplikasi

    • Membeikan informasi ttg kondisi dan kebutuhan pengobatan

    • DIAGNOSA KEPERAWATAN

    • Kerusakan mobilitas fisik b.d cedera jarinagan sekitasr fraktur, kerusakan rangka neuromuskuler

    • Nyeri b.d spasme tot , pergeseran fragmen tulang

    • Kerusakan integritas jaringan b.d fraktur terbuka , bedah perbaikan

    • INTERVENSI

    • Kerusakan mobilitas fisik b.d cedera jarinagan sekitasr fraktur, kerusakan rangka neuromuskuler

    Tujuan : kerusakn mobilitas fisik dapat berkurang setelah dilakukan tindakan keperaawatan

    Kriteria hasil:

    • Meningkatkan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin

    • Mempertahankan posisi fungsinal

    • Meningkaatkan kekuatan /fungsi yang sakit

    • Menunjukkan tehnik mampu melakukan aktivitas

    Intervensi:

    a. Pertahankan tirah baring dalam posisi yang diprogramkan

    • Tinggikan ekstrimutas yang sakit

    • Instruksikan klien/bantu dalam latian rentanng gerak pada ekstrimitas yang sakit dan tak sakit

    • Beri penyangga pada ekstrimit yang sakit diatas dandibawah fraktur ketika bergerak

    • Jelaskan pandangan dan keterbatasan dalam aktivitas

    • Berikan dorongan ada pasien untuk melakukan AKS dalam lngkup keterbatasan dan beri bantuan sesuai kebutuhan'Awasi teanan daraaah, nadi dengan melakukan aktivitas

    • Ubah psisi secara periodik

    • Kolabirasi fisioterai/okuasi terapi

    b.Nyeri b.d spasme tot , pergeseran fragmen tulang

    Tujuan ; nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan perawatan

    Kriteria hasil:

    • Klien menyatajkan nyei berkurang

    • Tampak rileks, mampu berpartisipasi dalam aktivitas/tidur/istirahat dengan tepat

    • Tekanan darahnormal

    • Tidak ada eningkatan nadi dan RR

    Intervensi:

    • Kaji ulang lokasi, intensitas dan tpe nyeri

    • Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring

    • Berikan lingkungan yang tenang dan berikan dorongan untuk melakukan aktivitas hiburan

    • Ganti posisi dengan bantuan bila ditoleransi

    • Jelaskanprosedu sebelum memulai

    • Akukan danawasi latihan rentang gerak pasif/aktif

    • Drong menggunakan tehnik manajemen stress, contoh : relasksasi, latihan nafas dalam, imajinasi visualisasi, sentuhan

    • Observasi tanda-tanda vital

    • Kolaborasi : pemberian analgetik

    • Kerusakan integritas jaringan b.d fraktur terbuka , bedah perbaikan

    Tujuan: kerusakan integritas jaringan dapat diatasi setelah tindakan perawatan

    Kriteria hasil:

    • Penyembuhan luka sesuai waktu

    • Tidak ada laserasi, integritas kulit baik

    Intervensi:

    • Kaji ulang integritas luka dan observasi terhadap tanda infeksi atau drainae

    • Monitor suhu tubuh

    • Lakukan perawatan kulit, dengan sering pada patah tulang yang menonjol

    • Lakukan alihposisi dengan sering, pertahankan kesejajaran tubuh

    • Pertahankan sprei tempat tidur tetap kering dan bebas kerutan

    • Masage kulit ssekitar akhir gips dengan alkohol

    • Gunakan tenaat tidur busa atau kasur udara sesuai indikasi

    • Kolaborasi emberian antibiotik